Pendidikan dan Nilai Sosial Budaya (Oleh: Putri Mawarni S.Pd)

 

Tahukah kalian readers selama ini mungkin hampir setiap orang memiliki pemahaman bahwasanya proses pembelajaran di sekolah sangat membosankan begitupun mengenai tugas-tugas yang diberikan oleh guru terkadang terasa sangat sulit untuk dikerjakan. Bukan karena malas namun karena individu tersebut tidak memiliki bakat akan tugas yang diberikan guru, misalnya tugas membuat cerita sejarah, membuat kerajinan tangan, dll. Kemudian hampir dari setiap kalangan beranggapan hal yang paling dikejar sebagai peserta didik adalah nilai akhir yang tinggi dan mendapatkan peringkat di kelas.

Apakah kalian pernah mendengar tentang kurikulum merdeka wahai para readers? Ya, ini adalah kurikulum terbaru pada masa kini yang diterapkan di Indonesia. Kurikulum ini ada sejak Indonesia diserang oleh virus covid-19. Kurikulum merdeka merupakan kurikulum yang menerapkan kebebasan belajar terhadap peserta didik sesuai dengan karakteristik, bakat, dan minat peserta didik namun tidak melupakan capaian pembelajaran yang ingin dicapai serta harus merujuk pada Profil Pelajar Pancasila (PPP).

Nah, ternyata dasar perubahan kurikulum pendidikan Indonesia menjadi kurikulum merdeka dengan berlandaskan PPP merupakan adaptasi dari pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara loh, readers. Seperti kita ketahui sampai saat ini pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang masih digunakan dalam dunia pendidikan adalah semboyan tut wuri handayan, dimana simbol kata tersebut masih digunakan sebagai lambang topi sekolah peserta didik. Selain itu Ki Hadjar Dewantara juga beranggapan “Peserta didik harus dituntun untuk mengembangkan dirinya sesuai kodrat dan potensinya dengan kasih sayang tulus, mendampingi, merawat dan menjaganya, serta memberikan doa dan harapan untuknya.” Merujuk dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut tentu saja seorang guru harus memiliki sifat among, momong, dan ngemong.

Dalam hal menyokong dan mendukung peserta didik mengembangkan diri yang sesuai dengan kodrat dan potensi masing-masing dirinya namun seorang guru juga harus melihat dari segi kodrat alam pada lingkungan belajar tersebut, kemudian guru juga harus memperhatikan kehidupan sosio kultural yang ada pada dalam maupun luar sekolah. Jadi para readers, dapat kita simpulkan bahwasanya kita harus mengadopsi pendidikan dari luar misalnya perkembangan teknologi namun kita tetap harus menyesesuaikannya dengan sosio kultural Indonesia yang berlandaskan Pancasila.

Setelah penjelasan di atas, apakah pola pikir kalian mengenai proses pembelajaran pada dunia pendidikan sudah berubah readers? Semoga saja sudah ya, readers. Karena ternyata pendidikan pada era sekarang peserta didiknya sudah merdeka mengembangkan diri mereka sehingga tugas-tugas yang akan dikerjakan nantinya dapat dipilih sesuai dengan potensi peserta didik tersebut namun tanpa melupakan capaian pembelajaran yang ingin di capai dan sosio kultural yang ada di lingkungan sekitarnya.

Nah, selanjutnya untuk saya sendiri sebagai seorang guru dan kalian para readers jika kalian berprofesi sebagai guru juga. Mari sama-sama kita menerapkan pemikiran-poemikiran Ki Hadjar Dewantara ini dalam pembelajaran di sekolah karena sesuai dengan kurikulum merdeka yang saat ini sedang kita terapkan di sekolah. Hal-hal ini dapat kita mulai dari sikap yang kita tunjukan yaitu sikap among, ngemong, dan momong serta membiarkan peserta didik berkembang sesuai kodrat bakat dan minatnya.

Komentar